19.12.09

my short story :)

lalala, akhirnya cerpen saya selesai juga. tapi belum punya judul, enaknya apa ya ?
oke, aku nggak bakat nulis cerpen dan memang bakatnya papa nggak nurun ke aku.
aku nulis cerpen ini (agak) terinspirasi sama bukunya Enid Blyton (oh, thankyou so much for your book!) yang judulnya Malory Towers, tapi cuma dikit kok, cuma inti masalahnya doang yang terinspirasi.terus nama-nama tokohnya tu agak (sok)kebarat-baratn gitu kayak Elizabeth, Mary, Gwen, Jenny, Kathleen, Bob, etc. kalo nama tokoh utamanya aku ambil dari anak kembar di buku The Thirteen Tale, namanya Adeline sama Emmeline. langsung aku ceritain aja ya, maaf kalo puanjaaaaang banget, 9 halaman man ! (sombooongg bangeet) :D enjoy it!



“Hore! Besok pagi sekolah sudah mulai masuk!” teriak Mary, mukanya tampak berseri-seri dan matanya tampak berbinar-binar senang.
”Aku sudah kangen pada Lilian dan Kathleen . Bahkan aku kangen pada Bob!” teriaknya lagi.
”Ciyee! Kangen apa kangen?” sahut kakaknya, Daphne, sambil melempar bantal ke muka Mary.
”Ah, jangan mulai bicara tentang itu! Please deh, kakakku yang tercinta!” jawab Mary dengan muka merah.
”Hey, anak-anak! Berhenti! Kenapa kalian berkelahi terus! Seperti anak kecil saja! Lebih baik cepat bereskan baju-baju kalian, aku tak mau besok ada barang yang ketinggalan” gerutu Ibunya. ”Sungguh damai 3 bulan besok rumah tenang tanpa kalian” lanjut Ibunya sambil tersenyum.
Esok pagi memang hari yang menyenangkan bagi Mary dan Daphne. Karena besok Mary dan Daphne akan kembali ke Moonacre Adolescence, sekolah mereka, setelah mendapat liburan selama 3 minggu di rumah mereka. Bukannya mereka tidak senang berada di rumah, namun rasanya memang berbeda antara rumah dan sekolah. Tahun ini adalah tahun kedua Mary di Moonacre Adolescence, sedangkan Daphne 2 tahun lagi akan melanjutkan ke perguruan tinggi. Walaupun usia mereka sudah dibilang bukan anak kecil lagi, namun jika mereka sudah bertemu, ada saja percekcokan yang terjadi.
Mereka berangkat ke Moonacre Adolescence diantar oleh Ayah, Ibu dan tentu saja, Mavis, kucing mereka. Di sekolah mereka boleh membawa binatang peliharaan mereka, namun tidak sembarangan tinggal di kamar asrama, namun ada pengurus khusus yang mengurus binatang pelihraaan murid-murid asrama. Tidak sembarangan pula hewan peliharaan yang boleh dibawa, anjing, kucing, burung, kelinci dan binatang yang tidak membuat keributan tentu boleh dibawa. Perjalanan mereka sangat jauh karena Moonacre Adolescence berada di pinggir laut, berbeda dengan rumah mereka yang berada di tengah hiruk pikuknya kota.
Setelah beberapa kali berhenti di tengah perjalanan, akhirnya keluarga itu sampai di halaman depan Moonacre Adolescence. Sudah banyak mobil yang datang untuk mengantar anak-anak yang baru datang.
”Mary! Kamu tambah gendut!” seru seorang anak perrempuan yang membawa koper besar berwarna merah, disambut oleh derai tawa teman-teman Mary yang lainnya. Setelah berpamitan pada Ayah dan Ibu, ia segera bergabung dengan teman-temannya. Daphne tentu saja juga sudah pergi dengan teman-temannya.
”Kathleen! Kau tak membalas suratku!” seru Mary pada gadis yang membawa koper besar berwarna merah tadi. “Lily! Mana janjimu? Katanya mau membawakanku boneka teddy bear yang kau ceritakan itu!” Mary berteriak-teriak dan tertawa setiap bertemu teman yang dikenalnya.
“Mary!” seru seorang bocah bermuka bintik-bintik, namun masih bisa dibilang tampan. “Kenapa lama sekali? Kita sudah berada di sini sejak pagi” lanjut bocah itu, yang ternyata bernama Bob, salah satu sahabat Mary.
”Kau tau lah rumahku lebih jauh daripada rumah kalian” jawab Mary santai. ”Eh, apakah ada anak baru semester ini? Aku sudah bosan dengan kalian” lanjut Mary disambut dengan sorakan dari teman-temannya.
”Ada, 4 orang anak sekaligus! Pasti semester ini bakal ramai!” sahut Lilian, salah satu sahabat Mary yang lain.
”Aku ingin melihatnya, tapi aku lelah, aku ingin istirahat di kamar dulu. Nanti malam aku pasti akan melihat mereka” batin Mary. Lalu ia dan yang lain pun pergi ke kamar asrama mereka, memang kebetulan mereka satu kamar. Kecuali Bob tentunya, asrama anak laki-laki dan perempuan tentu saja berbeda.
Ternyata Mary tidak perlu menunggu untuk melihat anak-anak baru itu, 3 diantaranya ternyata satu kamar dengan mereka. Dengan tambahan anak-anak baru itu, penghuni di kamar mereka menjadi 10 orang. Anak-anak baru itu tengah membereskan barang-barang mereka, dan tebak apa ? Dua orang dari anak baru itu adalah anak kembar! Ini merupakan hal yang baru sejak Mary masuk Moonacre Adolescence, karena dari saat itu ia belum pernah melihat anak kembar di sekolah ini. Tentu saja ini mengakibatkan anak-anak yang ingin tahu bergerombol di depan kamar Mary, Kathleen dan Lilian. Setelah ’mengusir’ anak-anak ingin tahu itu, mereka pun berkenalan dengan anak-anak baru itu.
”Halo! Kalian anak baru ya?” tanya Kathleen pada anak-anak baru itu. Sebenarnya itu pertanyaan bodoh karena hampir satu sekolah tahu kalau mereka adalah anak baru. Walaupun begitu, anak-anak baru itu tetap menanggapi dengan ramah.
”Hai, hmm.. salam kenal ya” jawab seorang anak perempuan yang berpita merah, salah satu anak baru selain si kembar. “Kenalkan, namaku Lucy, kalian ?” lanjut anak perempuan itu sambil tersenyum manis.
”Haloo, aku Mary, yang berbaju hijau itu Kathleen, dan yang gendut itu Lilian” jawab Mary, ia senang anak baru itu mudah beradaptasi. Mary bukannya tidak suka anak yang pendiam dan pemalu, ia hanya merasa tidak nyaman berteman dengan orang-orang seperti itu.
”Sialan kamu Mary, aku kan nggak gendut” sahut Lilian sambil memonyongkan bibirnya, pura-pura ngambek. ”
”Oke deh sayaaang, kamu nggak gendut kok, cuma agak bantet dikit :p” sahut Kathleen disambut oleh derai tawa dari Mary dan Lucy.
”Hahaha, kalian memang lucu sekali ya. Senang bisa punya teman seperti kalian. Di rumah aku anak tunggal, jadi hanya bisa bermain dengan perawat dan boneka-bonekaku” kata Lucy.
”Berarti disini kamu bakal bersenang-senang!” seru Kathleen.”hmm.. halo kembar! Tampaknya kalian bakal jadi ’bintang’ di semester ini, hahaha. Siapa nama kalian ?” lanjut Kathleen pada si kembar.
”Haha, kami sudah biasa dengan orang yang kagum pada kami karena kemiripan kami. Padahal kita biasa aja lhoo” sahut salah seorang dari si kembar. ”aku Adeline, dan ini saudaraku, Emmeline” lanjutnya.
”Halo Emmeline! Tempat tidurmu tempat yang paling enak lhoo, soalnya itu deket jendela” kata Lilian dengan semangat. Namun Emmeline hanya diam dan tersenyum.
”hmmm.. sedap sekali bau ini. Sebentar lagi makan malam, sebaiknya kalian bersiap-siap” kata Mary pada Lucy dan Si Kembar.
Setelah itu, bel makan malam pun berbunyi. Lalu mereka berduyun-duyun turun ke Meja Besar, sebutan untuk ruang makan, yang memang terdiri dari meja yang besar-besar untuk tiap asrama. Ayam goreng, telur dan yang lain telah menanti mereka.
Keesokan paginya, mereka telah disambut oleh pelajaran dan guru-guru yang siap menghajar, eh mengajar mereka. Ada Mamzelle Zerelda yang mengajar Bahasa Perancis, lalu Mrs. Mona yang mengajar pelajaran bahasa, lalu Mrs. Nancy yang mengajar matematika, dan guru-guru lain.
Setiap hari mereka dipaksa untuk mengikuti pelajaran. Sebenarnya bukan dipaksa juga sih, ini meman tuntutan untuk anak yang masuk di Moonacre Adolescence karena hanya anak-anak yang memiliki nilai dan kepribadian yang bagus yang bisa masuk ke sekolah ini.
Seiring dengan waktu yang berlalu, anak-anak baru sudah memiliki sahabat masing-masing. Si Kembar Adeline-Emmeline tentu saja hanya berdua, karena kembar memang tak bisa dipisahkan, jika dipisahkan malah akan menimbulkan sakit, sakit yang membekas dan tak akan bisa hilang. Lucy bersahabat dengan Anne, anak yang semester lalu menjadi juara di turnamen tenis. Sedang anak baru yang satu lagi, yang tidak satu asrama dengan mereka –karena anak baru ini anak lelaki- bernama Bryan, atau mungkin Ryan. Mary, Kathleen dan Lilian tidak tahu pasti, karena saat diberitahu oleh Bob, Bob sedang mengunyah roti isi selai keju,jadi omongannya tidak begitu jelas. Namun Mary, Kathleen, dan Lilian tidak terlalu mengambil pusing siapa nama anak itu, karena mereka tidak dekat dengannya.
Mereka kemana-kemana pergi bersama sahabatnya masing-masing, Adeline-Emmeline, Lucy-Anne, Mary-Kathleen-Lilian. Selain mereka, di kamar asrama masih ada tiga orang anak lagi, yaitu Gwen, Jenny, dan Elizabeth. Mereka bertiga juga bersahabat, namun tidak sedekat Mary, Kathleen, dan Lilian.
”Lihat si kembar itu,” kata Lilian pada Mary. Mary berpaling dan lalu tertawa, Adeline sedang menalikan tali sepatu milik Emmeline, sedangkan Emmeline hanya duduk diam dan menunggu Adeline selesai.
”Mengapa Adeline tak pernah membiarkan Emmeline melakukan sesuatu sendiri?” tanya Kathleen ”padahal Emmeline bisa melakukannya sendiri, Adeline yang selalu mengatakan bahwa Emmeline tidak bisa. Adeline selalu menguasai Emmeline!” lanjut Kathleen dengan semangat bak seorang pejuang.
”Ya, padahal dalam pelajaran sesungguhnya Adeline sangat bodoh sekali, jauh di bawah Emmeline. Emmeline selalu membantunya setiap malam, kalau tidak, Adeline tidak bisa mengerjakan pr nya” sahut Gwen yang kebetulan berada di dekat mereka.
”Tapi Adeline selalu menguasai Emmeline!” kata Lilian. ”Dan aku benci melihatnya. Sayang sekali Emmeline tampaknya mau-mau saja diperlakukan seperti itu” lanjutnya.
”Tapi kita tak bisa melakukan apa-apa, kalian tau sendiri, anak kembar memang seperti memiliki ikatan batin. Mereka sangat tergantung pada satu sama lain” kata Kathleen. Lalu mereka hanya bisa terdiam dan memandang Adeline sedang mengikatkan rambut Emmeline.
”Sungguh tak bisa dimengerti,” pikir Mary, ”setiap ada yang berbicara pada Emmeline, selalu Adeline yang menjawab. Sungguh ajaib di kelas Adeline bisa menahan diri untuk tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan pada Emmeline” pikirnya lagi.
Memang benar, sangat jaran Emmeline menjawab pertanyaan dan perkataan yang ditujukan pada dirinya. Biasanya Adeline yang menjawabkannya untuknya. Misalnya saat Elizabeth berkata pada Emmeline, ”Em, tolong ambilkan buku ’the Thirteenth Tale’ yang ada di balik bukumu itu” maka Adeline-lah yang akan menjawab, ”Ini Liz! Tangkap!”.
Atau saat Lilian berkata ”Aduh maaf, penghapus yang kupinjam kemarin hilang. Kamu harus membeli yang baru, ini kuganti dengan uang” lalu Adeline pula yang menjawab, ”Tak apa Lil, Emmeline bisa memakai punyaku”
Sungguh mengesalkan juga Adeline selalu berjalan sedikit di depan Emmeline, selalu menerangkan sesuatu sebelum saudaranya berkata sepatah katapun, menanyakan apa yang ingin diketahui Emmeline. Apakah Emmeline tak punya jiwa ? atau ia hanya bayangan lemah dari saudaranya, Adeline ?
Sulit untuk dimengerti, Mary tahu kalau anak kembar memang memiliki ikatan, namun apakah sampai sebegitunya ? Mary ingin mengetahuinya, dan ia akan bertanya pada Emmeline. Mary mendapat kesempatan ketika ia menemui Emmeline sedang sendirian di kamar asrama, tampaknya Adeline sedang pergi dipanggil oleh Mamzelle Zerelda.
”Apakah kau betah disini, Em ?” tanya Mary hati-hati, ”Tampaknya kau tidak begitu ceria, apakah kau rindu rumahmu?” Mary berharap-harap cemas karena takut Emmeline tidak akan menjawab karena Adeline tidak ada disitu untuk menjawabkan pertanyaaan untuknya.
”Aku betah disini” jawab Emmeline pendek, tampaknya ia memang tidak bisa bicara panjang dengan siapapun, bahkan dengan Adeline.
”Kuharap kau senang bersekolah disini,” kata Mary, ia berpikir keras untuk membelokkan arah pembicaraan ke arah yang menyangkut tentang hal itu. Emmeline agak lama diam, ia sedang melipat bajunya, setelah itu ia menjawab dnegan pelan,
”Ya, terima kasih.”
”Tapi, rasanya Emmeline tidak begitu senang. Mengapa ? Ia cukup pandai dalam pelajaran ? Ia pandai berenang, main tenis dan olahraga lainnya. Ia juga tidak ada masalah dengan guru” pikir Mary.
”Eh, Emmeline,” kata Mary dengan gugup,”Aku, Kathleen dan Lilian pikir, kamu terlalu dikuasai oleh Adeline. Apakah kamu tidak bisa melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan dari Adeline ? Mmm, maksudku...”
”Aku tahu maksudmu,” kata Emmeline dengan suara dan wajah yang aneh.”Aku tahu benar maksudmu”
Mary mengira Emmeline marah dan tersinggung pada perkataannya, ”Maaf, bukannya aku mau mencampuri urusan kalian. Aku tahu kalian kembar, dan kembar biasanya memang dekat dalam segala hal, dan begitu saling tergantung. Aku mengarti mengapa Adeline ingin sekali membantumu, tapi..”
”Kamu sama sekali tidak mengerti apa masalahku” kata Emmeline kasar, ”Silahkan kamu tanya sendiri pada Adeline, itu tak akan menyelesaikan apapun” lanjutnya. Lalu ia pergi dengan muka kusut meninggalkan kamar asrama. Mary yang tinggal sendiri di situ hanya bisa diam, tak berani memanggil Emmeline.
”Kembar tak akan bisa dipisahkan,” pikirnya dalam hati, ”Mereka begitu dekat, seperti satu pribadi, satu hati. Aku pernah baca, kalau seseorang di antara anak kembar kesakitan, saudaranya ikut merasakan kesakitan itu walaupun di tempat yang sangat jauh. Tak ada gunanya mencari masalah dengan mereka, lebih baik kubiarkan saja.
Dan sejak saat itu, Mary, Kathleen, Lilian, Gwen, Jenny dan Elizabeth tak pernah membicarakan hal itu lagi. Mereka sudah cukup sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan rumah yang diberikan oleh Mamzelle Zerelda, Mrs Mona dan guru-guru lain. Apalagi setiap hari pelajaran dirasa semakin sulit saja. Sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian, mereka tak sempat memikirkan hal lain selain itu. Memikirkan itu saja sudah bikin pusing, apalagi memikirkan masalah Adeline dan Emmeline.
Tak terasa ujian sudah berakhir, rasa panas dan lelah yang kemarin anak-anak rasakan akhirnya lenyap juga. Rasanya lega.
”Kurasa semester ini akan berlalu dengan damai, tanpa sesuatu yang mengganggu kedamaiannya” seru Lilian sambil membuka jendela kamar asrama. Mereka baru saja kembali dari ruang kelas sehabis ujian.
”Tentu saja, apa yang bisa mengganggu kita ? Paling hanya Mamzelle yang koar-koar menyuruh kita belajar lebih keras. Masa bodoh dengan remedi, yang penting sekarang bebas!” sahut Kathleen. Tapi ternyata Kathleen salah besar, karena hari berikutnya dimulailah apa yang akhirnya disebut anak-anak dengan ’Peristiwa Si Kembar’.
Peristiwa itu dimulai dengan sesuatu yang sangat sepele, sehingga awalnya tidak ada yang memperhatikan. Penghapus Adeline tiba-tiba menghilang dengan sendirinya, lalu tali sepatunya ikut menghilang juga.
Mula-mula tak ada yang memperhatikan kejadian-kejadian seperti itu. Karena memang ada saja anak yang kehilangan sesuatu, yang ternyata kemudian ditemukan di tempat-tempat yang rasanya tak mungkin, seperti di kolong tempat tidur, di bawah bantal dan tempat-tempat lain.
Tapi kehilangan Adeline tidak berhenti begitu saja seperti kehilangan-kehilangan yang lain. saat pertama kali kehilangan, anak-anak menganggapnya wajar. Saat seminggu sudah lebih dari 5 barang dihilangkan Adeline, anak-anak mulai menyebutnya ceroboh dan pelupa. Dan saat kehilangan itu terus berlanjut, anak-anak mulai curiga bahwa ada yang menjahili Adeline.
”Ad, kenapa akhir-akhir ini kamu sering kehilangan sesuatu?” tanya Mary heran, ”Aku takj mengerti kenapa ada orang yang begitu sering kehilangan seperti kamu. Tampaknya seseorang sedang menjahilimu. Tetapi siapa? Rasanya tak mungkin salah seorang diantara kita melakukan hal sejahat itu, kalu sekali dua kali sih mungkin saja, tapi ini sudah begitu sering dan terus-menerus!” lanjut Mary.
Adeline menggelengkan kepala, ”aku tak tahu siap yang mempermainkan aku,” katanya. ”Jelas ada yang melakukannya. Tak mungkin semua kejadian ini hanya kebetulan belaka.” kata Adeline sedih, ia baru saja kehilangan ikat rambutnya.
”Bagaimana dengan kamu, Emmeline? Apakah kamu juga kehilangan sesuatu?” tanya Kathleen pada Emmeline, namun seperti biasa Adeline yang menjawab.
”Emmeline nggak pernah kehilangan, ia lebih teliti dibandingkan dengan aku. Kehilangan yang dialamai olehku sungguh membuat kesal dia,. Sebab anak kembar saling menyayangi, apa yang terjadi olehku dirasakan. Ia juga sangat baik padaku, setiap aku kehilangan sesuatu, ia menggantinya dengan barang-barangnya sendiri” kata Adeline.
Berhari-hari anak-anak terus bertanya-tanya, siapa gerangan yang tega menjahili Adeline.
”Seolah-olah pelakunya sangat dendam pada Adeline. Siapa yang benci Adeline?” tanya Mary, ”Apakah kejadian ini akan bertambah buruk? Maksudku, kejadian ini tidak sekedar keterlaluan, namun lama-lama menjurus ke sesuatu yang berbahaya bagi Adeline.”
”Mudah-mudahan tidak,” kata Elizabeth.
”Itu dia Si Kembar. Halo, Adeline, Emmeline. Ada sesuatu yang hilang lagi?” tanya Gwen.
”Ya, seseorang memotong-motong senar gitarku,” kata Adeline, menunjukkan gitarnya pada anak-anak. Ia dan Emmeline memang hobi dan pandai bermain gitar, mereka masing-masing mempunyai sebuah gitar. ”Lihat, semua senarnya putus, tidak bisa dimainkan lagi” lanjutnya. Adeline mulai sesenggukan dan mulai menangis di bahu Emmeline, saudaranya.
”Kau bisa memakai gitarku, Ad. Aku kan sudah bilang,” kata Emmeline yang tampak sangat sedih karena saudara kembarnya menangis. ”Kau boleh memakai apa saja milikku”
”Aku tahu Em, tapi bagaimana kalau barangmu juga ikut dirusak?” tanya Adeline yang masih menangis.
”Kapan kau terakhir kali melihat gitarmu dalam keadaan utuh?” tanya Kathleen.
”Tadi sore aku masih sempat memainkannya di kamar, saat itu ada Emmeline, Elizabeth, dan Jenny. Lalu aku dipanggil oleh Mrs Mona untuk memperbaiki kembali esai yang aku buat kemarin.” jawab Adeline.
”Berarti, di kamar masih ada Emmeline, Elizabeth, dan Jenny?” tanya Lilian.
”Tidak, sebelum aku dipanggil Mrs Mona, Elizabeth dan Jenny sudah lebih dulu keluar untuk berenang. Emmeline juga ikut keluar bersamaku.” jawab Adeline lagi, matanya sembab dan merah.
Semua heran,. Emmeline keluar dan beberapa lama kemudian kembali dan membawa gitarnya yang bagus, Emmeline membeli gitar itu dengan uangnya sendiri. ”Pakailah ini Ad,” katanya. ”Aku kasihan denganmu, dan aku minta kamu mau memakai gitarku ini”
”Oh tidak! Jangan!” seru Adeline. ”Aku bisa memakai penghapusmu, penggarismu, tali sepatumu. Tapi aku nggak mau memakai gitarmu. Itu milikmu, semester depan aku aku akan membeli senar yang baru”
Lalu, si Kembar kembali ke kamar, Adeline masih terus saja menangis. Anak-anak lain lalu meneruskan kembali pekerjaan yang tadi sempat tertunda karena Adeline. Yang masih memikirkan masalah itu hanyalah Lucy dan Mary.
Mary berpikir keras. Suatu pikiran aneh muncul. Dan satu per satu kejadian yang dulu terjadi tersusun rapi di benaknya. Seperti suatu puzzle, semakin lama semakin jelas. Ia ingat apa yang terjadi pada Adeline. Dan ia ingat betul Emmeline selalu mencoba mengganti baran Adeline yang rusak. Ia ingat betapa tersinggungnya Emmeline ketika Adeline menolak memakai gitar miliknya.
”Emmeline tersinggung, marah, dan takut” kata Lucy tiba-tiba, seolah-olah ia mengerti apa yang dipikirkan oleh Mary. ”Seolah-olah ia minta maaf pada Adeline dan permintaan maaf itu ditolak”
Dan kemudian segalanya jelas bagi Lucy dan Mary. Mereka kini tahu siapa yang begitu sering mengganggu Adeline, menghilangkan barang Adeline.
”Tapi, apa yang harus kita lakukan?” tanya Mary. ”Kita nggak bisa mengatakan pada siapapun, sebab aku masih belum yakin dan aku takut disalahkan. Tapi ini harus dihentikan. Kita harus menghentikan semua kejadian ini sebelum membesar dan makin berbahaya.”
”Aku pusing, aku serahkan semuanya padamu Mary, kamu yang lebih tahu tentang hal ini,” kata Lucy. Lalu ia keluar menuju ruang musik untuk menyalurkan emosinya dengan bermain piano yang memang keahliannya.
Mary lalu bangun dari tempat duduknya dan keluar mencari Emmeline. Emmeline harus dihentikan karena melakukan gangguan pada Adeline. Tapi, dimana Emmeline? Dia tidak ada di kamar, tidak di taman, bahkan ia tidak bersama Adeline yang sedang mengerjakan tugas seni rupanya di ruang belajar.
”Ada yang lihat Emmeline?” tanya Mary kepada setiap orang yang ditemuinya. Nggak ada yang tahu dimana Emmeline. Tapi akhirnya ia bertemu Bob, dan Bob mengatakan ia sempat melihat Emmeline masuk ke gudang perkakas di belakang kebun.
Mary lalu cepat-cepat menuju ke gudang yang dimaksud Bob. Gudang itu tempat tukang kebun menyimpan peralatan-peralatan meraka. Di depan pintu gudang, Mary sempat berhenti sebentar untuk memikirkan apa yang harus dikatakannya. Sempat ia berpikir untuk kembali dan memanggil Lucy agar dia saja yang menyelesaikan masalah ini, tapi tiba-tiba terdengar suatu suara aneh dari dalam gudang. Suara itu mirip suara orang megeluh dan menangis. Mary pelan-pelan membuka pintu dan menyelinap masuk.
Emmeline memang ada di situ. Duduk di pojok gudang, di atas beberapa karung. Ia tampak sibuk. Ia memegang sebuah gitar. Sepertinya ia berusaha membetulkannya.
”Gitar Adeline!” seru Mary dalam hati.
Awalnya Emmeline tidak melihat Mary. Ditangkupkannya kedua tangannya hingga menutupi mukanya, dan ia menangis terisak-isak.
”Em,” Mary memanggilnya, ”Ada apa, Em?
Emmeline pun kaget ketika melihat Mary, lalu ia menunduk dan menangis lagi.
”Mengapa kau rusakkan gitar saudaramu, Em?” tanya Mary dengan halus.
Emmeline lalu melonjak, mukanya tampak ketakutan. ”Apa katamu? Aku tidak merusaknya! Siapa yang bilang seperti itu? Adeline?” teriaknya.
”Tidak, tidak ada yang memberitahu apapun padaku. Tapi aku tahu kau yang melakukannya,” kata Mary. ”Dan aku juga tahu kau juga yang mengganggu Adeline dengan menghilangkan barang-barangnya” lanjut Mary dengan halus.
”Jangan ceritaka hal itu pada siapapun! Apalagi pada Adeline!” kata Emmeline, dipegangnya tangan Mary erat-erat.”Aku tak akan melakukannya lagi. Tolong.” mukanya tampak memelas.
”Tapi, Em. Mengapa kau lakukan itu? Adeline kan saudaramu? Semua orang akan mengira kau membenci saudaramu” tanya Mary.
”Aku memang benci padanya! Aku selalu benci padanya! Tapi aku juga sayang sekali padanya” seru Emmeline, ia tampak sangat tertekan.
Mary mendengarkan perkataan Emmeline dan merasa semakin bingung.
”Tapi kau tak bisa membenci sekaligus menyayangi seseorang dalam waktu yang sama!” katanya akhirnya.
”Mengapa tidak?” kata Emmeline. ”Dapat saja! Aku menyayangi Adeline karena ia saudara kembarku, dan aku benci padanya karena ia selalu menguasaiku! Menjawab pertanyaan yang ditujukan padaku! Mengerjakan sesuatu yang ingin kulakukan sendiri! Ia selalu mencoba untuk mendahuluiku dalam segala hal! Aku tak pernah diberinya kesempatan untuk mengatakan apa yang kupikirkan! Tentu saja aku mengakui bahwa Adeline memang lebih pintar daripada aku!” serunya.
Mary merasa bingung, sekaligus heran. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah ia dengar yang keluar dari mulut Emmeline.
”Tidak, kau jauh lebih pintar daripada Adeline. Dia sesungguhnya ada di kelas di bawah kita, dia diletakkan sekelas dengan kita hanya karena kalian anak kembar. Adeline bisa mengikuti pelajaran hanya karena ada kau yang membantunya!” teriak Mary yang ikut terbawa emosi.
Beberapa saat keduanya terdiam. Mary memikirkan segalanya kembali. Baginya semua tampak aneh. Lalu tiba-tiba Emmeline memecah keheningan dan berkata,
”Jangan beritahu Adeline. Aku nggak mau dia tahu bahwa yang melakukan semua ini adalah aku. Aku selalu merasa sangat menyesal setiap kali melihat Adeline kehilangan sesuatu. Sungguh sulit bagiku karena aku membencinya dan ingin membuatnya marah dan kecewa, tapi kemudian aku menyayanginyadan ingin menghiburnya.” kata Emmeline.
”Mungkin karena itu kau selalu meberikan barangmu pada Adeline ya? Sungguh membingungkan. Awalnya kau benci Adeline, lalu kamu merusak barang-barangnya agar dia sedih dan marah. Tapi kamu menyayanginya, dan kau ingin agar Adeline tidak bersedih lagi dengan menggantinya dengan barang milikmu. Aku melihat kamu merasa tersinggung ketika Adeline menolak memakai gitarmu” kata Mary.
”Mary, aku akan mengatakan padamu mengapa akhir-akhir ini aku sangat membenci Adeline. Ia memintaku untuk sengaja membuat nilai ujianku yang kemarin jelek, sehingga jika ia tidak lulus, kami akan tinggal kelas bersama. Dia sangat sayang padaku sehingga dia ingin agar kita selalu bersama.” kata Emmeline yang mulai menangis lagi.
”oh, sebenarnya ini mengharukan. Kasih sayang antara dua saudara kembar. Tapi ia memaksamu untuk melakukan hal yang dapat membuatmu malu.” kata Mary.
Lalu Mary terdiam lagi. Beberapa saat kemudian dia keluar untuk menemui Mrs Mona. Mary lalu menceritaka semua yang terjadi pada Mrs Mona. Mrs Mona kaget sekali, ia tidak membayangkan hal serumit itu terjaid pada anak kecil di Moonacre Adolescence.
”Begitulah ceritanya Mrs Mona, kalau Emmeline tidak ingin Adeline tahu tentang kejadian ini, maka keadaannya akan terus begini. Tidak akan ada yang berubah. Keduanya akan gagal, danmereka akan terus bersama, dengan Adeline yang terus menguasai Emmeline. Dan Emmeline akan terus menyeyangi sealigus membenci Adeline.” kata Mary.
”Benar, dan itu sangat berbahaya. Kejadian seperti ini akan mngakibatkan kejadian yang tidak disangka suatu saat nanti. Tapi. Aku telah melihat sekilas nilai-nilai anak-anak, dan nilai Emmeline tidak sejelek yang diharapkan oleh Adeline. Nilainya masih mencukupi untuk target kenaikan kelas, walapun sangat pas-pasan” kata Mrs Mona sambil tersenyum.
”Wah, itu tak pernah terpikirkan oleh saya Mrs Mona! Dan dengan kelas mereka berpisah,Emmeline bisa melakukan segala sesuatu sendiri. Tidak perlu lagi menjadi bayangan Adeline. Adeline akan terpaksa berhenti menguasainya. Dan itu adalah pemecahan masalahnya ! terima kasih Mrs Mona” kata Mary.
”Sama-sama anakku. Tapi Adeline tidak perlu diberitahu, suatu hari, bila memang sudah saatnya, Emmeline pasti akan memberitahu Adeline. Harap awasi mereka terus Mary.” kata Mrs Mona.
Dan sejak saat itupun, Adeline tidak lagi mengalami hal-hal yang buruk, dan kejadian itu lama-kelamaan dilupakan oleh anak-anak. Emmeline juga sepertinya telah melupakan kebenciannya pada Adeline, apalagi setelah semester berikutnya mereka telah berada di kelas yang berbeda. Dia tampak menyayangi saudara kembarnya itu. Dengan kelasdan asrama yang berbeda itu. Membawa banyak perubahan. Emmeline lebih maju dengan dirinya sendiri, dan Adeline bisa bekerja dengan kemampuannya sendiri dan tidak mencampuri urusan Emmeline.
Mary pun kini bersahabat dengan Lucy. Ia memang masih bersahabat dengan Kathleen dan Lilian, namun tidak sedekat dulu. Sepertinya Mary dan Lucy seperti langsung terikat begitu mereka menyelesaikan masalah Adeline dan Emmeline. Lalu mereka pun terus bersahabat hingga mereka tua, dan mereka masih sering tertawa jika mengingat masalah Adleine dan Emmeline, tak tahu apakah bagi Adeline masalah itu sudah jelas, yang pasti semuanya sudah berubah.

No comments:

Post a Comment